Supreme: Dari Jalanan New York ke Catwalk Dunia
Ketika berbicara tentang streetwear yang mendunia, satu nama yang tak mungkin terlewat adalah Supreme. Dari sebuah toko kecil di New York City yang melayani para skateboarder lokal, Supreme telah menjelma menjadi merek global yang berada di garis depan mode jalanan dan bahkan masuk ke ranah high fashion. Transformasinya bukan sekadar karena strategi bisnis, tetapi juga karena kemampuannya menciptakan budaya di sekitarnya.
Awal Mula: Skate dan Subkultur
Supreme didirikan pada tahun 1994 oleh James Jebbia di Lafayette Street, Manhattan. Awalnya bukan sebuah merek fashion besar, melainkan sebuah toko skate yang dirancang agar para skateboarder bisa datang, nongkrong, dan membeli pakaian yang sesuai dengan gaya hidup mereka. Toko ini bahkan dirancang agar para skater bisa masuk dengan papan mereka tanpa melepasnya.
Pada masa itu, Supreme menjual produk dari brand-brand lain seperti Zoo York dan Shorty's, lalu perlahan meluncurkan koleksi sendiri. Logo merah-putih khas mereka, yang terinspirasi oleh karya seni Barbara Kruger, langsung menarik perhatian karena desainnya yang sederhana namun berani.
Eksklusivitas sebagai Strategi
Salah satu elemen paling menarik dari Supreme adalah pendekatannya terhadap distribusi. Supreme hanya merilis produk dalam jumlah terbatas, dikenal dengan istilah drop. Setiap minggu, mereka merilis koleksi baru dalam jumlah kecil yang membuat para penggemar rela antre berjam-jam di depan toko atau menyerbu situs web hanya dalam hitungan detik.
Model ini menciptakan rasa eksklusivitas dan kelangkaan yang sangat kuat. Barang-barang Supreme sering kali terjual habis dalam hitungan menit, dan kemudian dijual kembali di pasar sekunder dengan harga berkali-kali lipat.
Kolaborasi yang Menjadi Legenda
Salah satu kekuatan terbesar Supreme adalah kemampuannya untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak — mulai dari brand olahraga, seniman, hingga rumah mode ternama. Kolaborasi Supreme telah menciptakan antisipasi besar di dunia mode, bahkan ketika partner kolaborasinya tampak tidak terduga.
Kolaborasi ikonik antara lain:
- Supreme x Nike: Koleksi sepatu dan pakaian yang laris manis dan menjadi incaran kolektor.
- Supreme x Louis Vuitton (2017): Titik balik besar di mana streetwear secara resmi memasuki dunia high fashion.
- Supreme x The North Face: Menyatukan fashion dan fungsionalitas untuk musim dingin dengan gaya khas Supreme.
- Supreme x Comme des Garçons: Menggabungkan eksperimentalitas avant-garde dengan akar streetwear.
Kolaborasi ini memperkuat posisi Supreme sebagai jembatan antara jalanan dan catwalk.
Dari Subkultur ke Arus Utama
Selama dekade 2000-an dan 2010-an, Supreme mulai mendapat perhatian tidak hanya dari komunitas skate dan hip-hop, tetapi juga dari fashionista, selebritas, dan kolektor mode. Sosok-sosok seperti Kanye West, Travis Scott, Rihanna, dan Tyler, The Creator kerap terlihat mengenakan Supreme, membuat merek ini semakin dikenal luas.
Namun, pertumbuhan ini juga mengundang kritik — sebagian menganggap Supreme telah kehilangan “jiwa jalanannya” dan terlalu komersial. Namun, banyak pula yang melihatnya sebagai evolusi alami dari sebuah merek yang berhasil menaklukkan dunia dengan tetap mempertahankan ciri khasnya.
Diakuisisi VF Corporation
Pada tahun 2020, langkah mengejutkan terjadi saat Supreme diakuisisi oleh VF Corporation (pemilik The North Face, Vans, Timberland) senilai USD 2,1 miliar. Banyak pihak khawatir bahwa akuisisi ini akan “menjinakkan” karakter rebel Supreme. Namun sejauh ini, Supreme masih menjaga eksklusivitas, desain radikal, dan kolaborasi uniknya.
Supreme dan Catwalk Dunia
Dengan kolaborasi bersama Louis Vuitton pada tahun 2017, Supreme secara resmi masuk ke dunia catwalk dan fashion week. Koleksi tersebut dipamerkan di runway Paris dan langsung menjadi fenomena global. Bahkan, banyak pihak menyebut kolaborasi itu sebagai momen bersejarah di mana streetwear dan high fashion menyatu secara sah.
Sejak itu, pendekatan kolaboratif Supreme memengaruhi banyak rumah mode untuk merangkul estetika jalanan. Kita melihat Dior, Balenciaga, bahkan Chanel, mulai memasukkan elemen streetwear ke koleksi mereka. Supreme adalah pelopor dalam pergeseran budaya ini.
Simbol Budaya Pop dan Generasi Baru
Lebih dari sekadar merek pakaian, Supreme telah menjadi simbol budaya pop. Barang-barangnya tidak hanya dipakai, tapi juga dikoleksi dan dipamerkan layaknya karya seni. Bahkan, bricks (bata) berlogo Supreme sempat dijual dan laku di pasar kolektor, memperlihatkan betapa kuatnya nilai simbolik merek ini.
Bagi generasi muda, mengenakan Supreme bukan hanya tentang gaya — ini adalah pernyataan tentang sikap, identitas, dan keberpihakan terhadap budaya urban.
Tantangan dan Masa Depan
Ke depan, Supreme menghadapi tantangan besar: mempertahankan eksklusivitas dan relevansi di tengah persaingan ketat dan perubahan selera pasar. Tantangan lainnya adalah mempertahankan identitas otentik meski berada di bawah payung korporasi besar.
Namun, jika sejarah adalah indikator, Supreme tahu bagaimana memainkan permainan ini. Mereka tidak hanya menjual produk — mereka menciptakan pengalaman, cerita, dan komunitas.
Kesimpulan: Supreme Adalah Budaya
Dari lantai beton toko kecil di New York hingga panggung runway Paris, Supreme telah menunjukkan bahwa mode jalanan bisa memiliki pengaruh global. Bukan karena iklan besar atau outlet mewah, tapi karena konsistensi, sikap, dan koneksi kuat dengan akar budayanya.
Supreme bukan hanya merek — ia adalah cerminan budaya urban modern. Dan selama dunia masih mencari ekspresi orisinalitas, Supreme akan terus berdiri di garis depan, baik di jalanan maupun di catwalk dunia.
Ditulis oleh: Luqmanul Hakim
Dipublikasikan pada: 13/05/2025